Konsekwensi Yuridis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 37/K/TUN/2016 Terhadap Akta Pendirian Dan Penyelesaian Badan Hukum Nahdatul Wathan (NW)
Main Article Content
Abstract
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab dua isu hukum pokok yaitu 1). Bagaimana pengaturan organisasi perkumpulan sebagai badan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia? 2). Bagaimanakah konsekwensi yuridis Putusan Mahkamah Agung terhadap legalitas Badan Hukum Nahdatul Wathan (NW)?
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, digunakan beberapa metode pendektan : Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan Pendekatan Konsep (conceptual approach) . Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan : 1). Pengertian perkumpulan di Indonesia sangat sederhana, hanya didasarkan kepada adanya kumpulan orang yang mempunyai maksud dan tujuan sehingga semua badan usaha dan badan hukum yang ada di Indonesia diartikan sebagai suatu Perkumpulan. Badan hukum yang telah ada di Indonesia yang dipersamakan dengan Perkumpulan apakah itu perseroan terbatas, koperasi, yayasan semuanya sudah memiliki payung hukum yang jelas dan tinggi yaitu Undang-Undang sedangkan Perkumpulan, pengaturan mengenai Badan Hukum Perkumpulan masih didasarkan pada peraturan peninggalan kolonial Belanda yaitu staadsblaad No 1870 dan juga tersebar pada peraturan-peraturan lain. Pengaturan mengenai pengesahan badan Hukum Perkumpulan hanya diatur dalam Peraturan Menteri saja yang kedudukannya jauh dibawah undang- undang yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan. 2). Bahwa dengan telah terbitnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 37 K/TUN/2016 yang membatalkan Surat Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia Nomor AHU-00297.60.10.2014 tanggal 11 juli 2014, maka eksistensi Organisasi Sosial Keagamaan yang didirikan berdasarkan Akta Nomor 48, tanggal 29 Oktober 1956, yang dibuat oleh Hendrik Alexander Malada, Notaris Pembantu Mataram, yang didaftarkan dan ditetapkan oleh Menteri Kehakiman RI melalui Surat Nomor J.A.5/105/5, tanggal 17 Oktober 1960 tetap di akui.